Amerika Serikat sempat memiliki visi bahwa di tahun 2019, akan ada ribuan taksi yang berjalan sendiri. Cita-cita yang bergulir beberapa tahun yang lalu itu sampai sekarang masih belum terlihat realisasinya.
Bahkan pada tahun yang mereka rencanakan ini, sebagian besar mobil masih dikendarai secara manual. Membuat mobil otonom nyatanya jauh lebih sulit dari perkiraan. Kesulitannya bahkan dirasakan banyak produsen otomotif ternama. Buktinya dari sekian banyak merek, sampai hari ini belum ada mobil otonom yang diproduksi secara massal.
Dilansir dari The New York Times, Ford dan Volkswagen sempat berencana mengatasi tantangan dari mobil self-driving. Kedua jenama ini dikabarkan akan menggunakan teknologi kendaraan otonom dari perusahaan start-up Argo AI yang berbasis di Pittsburgh. Peneliti di Argo mengatakan bahwa mobil otonom harus menghadapi situasi yang tidak terduga setiap hari.
Hal ini juga yang jadi alasan mengapa mobil otonom masih harus ditunda peluncurannya. Bryan Salesky, Chief Executive Argo AI, mengaitkan penundaan itu dengan perilaku orang-orang di jalan. Temuan Argo mengungkapkan: mobil otonom memang punya penilaian sendiri terhadap kondisi jalan. Misalnya baru-baru ini mobil uji coba mereka bertemu dengan pesepeda berkendara di jalan yang salah.
Juga ketika mobil uji Argo bertemu dengan penyapu jalan yang tiba-tiba putar balik di persimpangan. Dengan tekonologi radar dan kamera beresolusi tinggi, serta perangkat komputasi yang dimiliki perusahaan, tentu segala objek dapat dideteksi dan diidentifikasi di jalan. “Bagian tersulitnya adalah mengantisipasi apa yang akan mereka lakukan selanjutnya.
Anda melihat segala kengawuran di jalan. Memang tidak sesering itu, tapi Anda harus menangani semuanya,” kata Salesky kepada New York Times. Baca juga: Kendaraan Listrik: Dibutuhkan tapi Masih Diragukan Ia juga mengatakan, pihaknya beserta sejumlah kompetitor telah mengembangkan sekitar 80 persen teknologi yang dibutuhkan untuk membuat mobil otonom, seperti radar, kamera, dan sensor untuk melihat segala objek di jalan secara rutin. Tetapi 20 persen sisanya masih dalam pengembangan. Termasuk membuat perangkat lunak yang dapat mengantisipasi apa yang akan dilakukan oleh pengemudi, pejalan kaki, dan pengendara sepeda.
Hal-hal seperti ini yang menurut Salesky masih sulit dilakukan. Apalagi keyakinan industri otomotif sempat berubah ketika sebuah mobil yang tengah diuji Uber menabrak dan menewaskan seseorang yang mengendarai sepeda di Tempe, Arizona. Kematian seorang pengguna jalan itu diyakini sebagai kecelakaan pertama yang melibatkan mobil self-driving. Teknologi Otonom Masih Diragukan? Secara teori, mempunyai mobil yang bisa menyetir sendiri seharusnya jadi hal luar biasa.
Perjalanan akan jadi lebih nyaman dan Anda bebas melakukan hal apapun di dalam mobil. Seperti halnya ketika diantar oleh sopir, penumpang tinggal memilih pergi kemana, dan mobil akan mengantar ke tempat tujuan Anda. Namun menurut jajak pendapat Survey Monkey dari 2.586 orang di AS, hanya 6 persen yang menjawab sangat mungkin ketika ditanya apakah akan membeli mobil otonom. Sementara sebanyak 65 persen mengatakan bahwa mereka tidak mungkin membeli kendaraan tersebut.
Survei berlanjut ke tingkat kepercayaan diri penumpang mobil berteknologi self-driving. Hanya 7 persen orang yang mengatakan sangat aman, dan 25 persen mengatakan agak aman. Persentase untuk merasa aman bagi pejalan kaki yang berada di sekitar mobil bahkan menunjukkan lebih rendah. Hal ini membuktikan mobil otonom setidaknya belum mendapat kepercayaan di masyarakat AS, tempat perusahaan mobil menghabiskan miliaran dolar untuk mengembangkan teknologi tersebut. Survei tersebut mengatakan, orang bukan hanya ogah membeli mobil yang bisa berjalan sendiri, mereka bahkan tidak ingin berada di dekat kendaraan itu.
Bahkan di kalangan konsumen AS sampai muncul sebuah ungkapan: jika kita ingin mati setidaknya kita mati karena kebodohan sendiri, bukan karena robot. Baca juga: Kapan Harga Mobil Listrik Menjadi Lebih Murah? Lain halnya dengan sistem otomatis Level 1 dan 2, yang membantu satu atau beberapa bagian dari tugas mengemudi. Fitur ini sudah termasuk dalam sebuah teknologi otonom, namun pengemudi masih dituntut untuk terlibat aktif serta memantau lingkungan di sekitar.
Teknologi ini sudah tersedia di mobil-mobil produksi massal buatan sekarang, dan tidak ada penolakan berlebih dari konsumen. Teknologi yang dimaksud sebagai fitur keselamatan aktif ini ternyata juga termasuk dalam teknologi berkendara otomatis. Namun berada pada tingkatan yang lebih rendah. Insurance Institute for Highway Safety (IIHS) misalnya menjabarkan teknologi berkendara otomatis dari level 1 sampai 5. Semakin besar angkanya, semakin tinggi pula teknologi yang disematkan.
Sistem rem otomatis atau autobrake, misalnya, dianggap lebih efektif untuk dipakai dalam kondisi sehari-hari. IIHS bahkan menyebutkan autobrake bisa mencegah 70 persen kecelakaan depan dan belakang.
Ciri khas teknologi ini adalah dengan mempelajari sebuah situasi khas yang biasa dialami di jalan. Misalnya mobil yang berhenti mendadak, kendaraan yang berubah jalur tiba-tiba, atau ada mobil yang tergelincir saat melaju di jalan es. “Tidak ada teknologi keselamatan yang dirancang untuk bisa mengatasi semua skenario kecelakaan yang mungkin terjadi,” kata Jessica Cicchino, IIHS Vice President for Research and Study, dalam keterangan resminya.
Meski begitu teknologi canggih seperti ini juga masih memiliki celah kritik, sebab sistem otomatis yang tersedia di kendaraan saat ini ternyata hanya dirancang pada jenis jalan tertentu. Studi terbaru dari IIHS dan AgeLab-nya Massachusetts Institute of Technology, mengungkap bahwa sistem ini hanya cocok dipakai di jalan bebas hambatan. Seperti halnya mobil otonom yang belum dapat membaca perilaku pengguna jalan, fitur keselamatan aktif yang dipakai pada mobil uji coba juga membingungkan sopir saat dipakai di jalan umum. Pasalnya teknologi ini tidak bereaksi terhadap lampu lalu lintas atau rambu berhenti, alhasil sopir masih harus ikut mengambil peran saat mengendarai mobil.
sumber:tirto.id